Kamis, 03 April 2008

Cerpen_Tugas Mading


“SEBUAH HARAPAN TERPENDAM”


Seneng rasanya, jika mempunyai teman-teman yang “care” , dan peduli satu sama lain. Dan semua itu udah aku dapetin di kampusku. Aku, Risma, Ika, terlahir dari sudut pandang dan keluarga yang berbeda. Aku sadar, kami juga mempunyai segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akan teatapi, justru perbedaan itu yang menyatukan kami.
***

Dua tahun yang lalu, aku merasa sebagai orang asing yang tiba-tiba terdampar di pulau orang. Ya……aku datang ke kota Surabaya. Tak sedikit orang yang senang tinggal di kota ini. Sebagai kota metropolis, Surabaya memang sangat ramai. Banyak pusat-pusat perbelanjaan diberbagai sudut kota, sekolah-sekolah elite dan fasilitas yang memadai. Banyak juga orang dari kampungku yang mencoba datang ke Surabaya mengadu nasib. Mereka berusaha mencari pekerjaan yang layak untuk mengepulkan asap dapur keluarganya di kampung. Namun, tidak bagi aku. Aku dtamg ke Surabaya untuk mencari ilmu.
Aku bersyukur terlahir dari keluarga yng cukup mampu jika dibandingkan dengan teman-temanku di sini. Tapi, itu bukan satu hal yang patut auk banggakan. Keluargaku selalu mengajarkan hidup sederhana dan apa adanya. “Harta itu hanya titipan nak, suatu saat bisa di ambil oleh Allah. Ayah berharap kamu tidak pamer pada teman-temanmu di Surabaya”. Itulah pesan dari ayahku waktu kali pertama aku berangkat ke Surabaya.
***

Sabtu, 12 Juli 2006, kali pertama aku menginjakkan kaki ke kota Surabaya. Semua terasa begitu aneh. Apa yang diceritakan orang-orang tentang Surabaya tidak semuanya benar. “Surabaya itu sangat ramai dan bersih Din”. Aku masih ingat kata-kata itu terucap dari mulut Bang Ramli, tetanggaku. Kota yang ramai, itu mungkin benar, pikirku!. Tapi kota yang bersih??????? aku meragukannya. Mungkin orang-orang yang datang ke kota ini tidak memperhatikan tumpukan sampah di mana-mana. Padahal hal itu amatlah mencolok dan terlihat oleh mata.
***

Sampah, sampah, dan sampah. Rasanya tak akan pernah habis kalau bicara soal sampah. Hampir di seluruh pinggir-pinggir jalan masuk kota Surabaya terdapat tumpukan sampah yang menggunung. Yang paling tidak tahan, bau sampah itu sampai tercium sewaktu aku dalam perjalanan ke suatu tempat. Dalam hati, aku hanya bisa prihatin melihat fenomena itu. Aku pernah melihat acara di sebuah stasiun TV, bahwa pemerintah kota Surabaya sudah menyediakan tempat khusus untuk pembuangan sampah. Tapi, kenyataannya sampah masih merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan oleh semua orang.
Bahkan, beberapa hari yang lalu ketika berangkat ke Kampus, aku melihat orang membuang dua tong sampah ke lahan kosong milik orang. Padahal jelas-jelas di sebelahnya sudah disediakan temapat pembuangan sampah (TPS). Aku jadi heran, kenapa orang-orang tidak sadar sedikitpun. Tp, aku toh hanya bisa diam dan memandang saja. Di satu sisi tidak mungkin aku menegur atau sekadar memperingatkan orang itu. Bisa-bisa aku kena marah orang sekampung. Tapi, di sisi lain aku seorang mahasiswa yang seharusnya tahu yang benar dan yang salah. Ahhhhhhhhhh entahlah, semua hanya bisa jadi cerita.
***

Pernah terpikir dalam anganku untuk mengajukan ide kecil tentang masalah kebersihan di kampus. Namun, semua itu hanya sebuah angan yang sulit akk wujudkan. Aku ini siapa? Saat itu aku hanya seorang mahasiswa baru yang ga’ tahu apa-apa tentang dunia kampus. Selain itu, aku hanya anak desa dari Sragen dan di sini hanya belajar. Tapi, aku bingung dengan kelakuan orang-orang di sini. Semua serba acuh. Aku juga minder dengan teman-teman yang gaya hidupnya serba wah…!
Hari-hari di Surabaya kulalui sendiri. Pergi dan pulang kuliah pun sendirian. Mungkin teman-temanku sering omongin aku di belakang. Aku minder melihat tema-temanku. Pernah suatu hari, aku diledekin teman-teman dengan sebutan manusia udik . Tapi auk ga’ peduli. Omongan itu selalu ku dengar dari telinga kanan dan keluar telinga kiri. Begitu seterusnya, sampai mereka akhirnya bosan.
***

Risma dan Ika adalah teman yang sangat peduli sama aku. Di saat aku diledekin teman yang lain mereka selalu bela aku abis-abisan. Terutama si Risma yang cerewet dan super Pede. Tidak salah kalau dia menjadi salah satu anggota dari organisasi di kampus kami. Aku paling dekat dengan dia. Tapi, karena kesibukannya sekarang, kami jarang ngumpul-ngumpul bareng di luar jam kuliah. Paling-paling kalau ada waktu luang, kami bertiga pergi ke toko buku atau ngobrol.
Kedekatanku dengan Risma mungkin bisa menjadi jalan untuk menuangkan ide lamaku tentang sampah dan kebersihan. Sebagai aktivis dalam kampus, mungkin dia bisa mengutarakan ideku disela-sela rapat.
***

Masih aku ingat menjelang bulan Agustus yang lalu, kampus mengadakan lomba antar jurusan. Waktu itu, aku membaca madding bahwa akan diadakan berbagai lomba antar kelas dan antar jurusan dalam rangka memperingati hari jadi Universitas dan sekaligus memperingati HUT RI tanggal 17 Agustus mendatang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini lomba yang tercantum dalam madding sama dengan tahun yang lalu, yang dominan dengan pertandingan olahraga seperti footsall, voli, badminton dllll. Tidak ada perbedaan yang mencolok. “Alangkah indahnya, kalau masalah kebersihan masuk dalam kategori ,pikirku dalam hati”. Dan lagi-lagi aku mesti kecewa. Ternyata Risma pun ga’ bisa meyakinkan teman-temannya dalam organisasi. Anak-anak bilang, kalau masalah samapah dan kebersihan bukab tanggung jawab kita Din. Sudah ada tukang kebun atau cleaning service yang menangani. Begitulah kata-kata Risma yang aku dengar. Tapi yang paling aku kecawakan, kenapa semua mengandalkan tukang kebun atau cleaning service? Kebersihan adalah tanggung jawab bersama.
***
Sebutan cleaning service. Selama ini aku hanya melihat dua orang yang membersihkan dan menyapu gedung jurusan, Ibu Asni dan Pak Maman. Suami istri itu hampir tiap pagi menyapu lantai di gedung jurusan. Kadang juga terpikir olehku, apa hanya dua orang ini yang membersihkan gedung sebesar ini? Berapa gaji mereka tiap bulannya dari pekerjaan ini? Padahal kalau aku perhatikan, bu Asni dan pak Maman sudah tua. Mungkin mereka seusia kakek dan nenekku di kampong. Sudah waktunya mereka menikmati hari tua di rumah dengan anak dan cucu.
***

Ngomong-ngomong masalah gaji, sempat waktu kuliah sore aku ngobrol dengan bu Asni. Ternyata mereka hidup hanya dari penghasilan sebagai cleaning service. Sedangkan mereka masih menghidupi anak bungsunya. Jadi orang kecil memang susah neng, ibu juga harus sedikit ngoyo untuk membantu pak Maman cari uang. Memang anak ibu berapa? tanyaku disela-sela ngobrol. Anak ibu tiga, tapi yang dua sudah punya keluarga sendiri, jawab bu Asni ramah. Terus yang biasanya bantu ibu membersihkan gudang itu, apa anak ibu yang terakhir? Tanyaku lagi. Iya neng, itu anak bungsu ibu. Dari kecil anak-anak ibu sudah biasa bekerja, jawab bu Asti. Masih banyak cerita dari bu Asti yang membuat aku terenyuh mendengarnya. Ternyata jalan hidup manusia memang berbeda. Satu hal yang perlu diingat, bahwa manusia haruslah bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan.
***

Setelah mendengar jawaban Risma, aku hanya bisa berkata “ya udahlah ga’ apa-apa Ris, yang penting kamu udah berusaha kan”. Dalam hati, aku kecewa banget dengan sikap teman-teman yang tidak merespon sedikitpun. Mungkin ideku ini terlalu kuno dan tidak modern sama sekali. Tapi, aku selalu berharap suatu saat ada orang-orang yang pemikirannya sama seperti aku. Biar pekerjaan yang ditanggung bu Asti dan pak Maman sedikit berkurang.
Seandainya sampah tahu di mana tempatnya………………..
Seandainya sampah bisa bicara…………….
Seandainya, seandainya…seandainya!
Tapi semua itu hanya halusinasi semata, sampah benda mati dan selamanya akan menjadi benda mati yang tidak bisa apa-apa. Manusialah yangcharusnya sadar memulai hidup dengan memperhatikan hal-hal yang kecil “membuang sampah pada tempatnya”.


Sby, November 2008

Tidak ada komentar: